Kota Tua Jakarta tak hanya menyediakan museum dan bangunan-bangunan tua bergaya Eropa, tetapi juga menyimpan jenis wisata religi, yaitu wisata ke rumah ibadah. Wisata religi di sekitar Kota Tua Jakarta ada wisata ke masjid, gereja dan vihara / kelenteng tua. Di depan Perpustakaan Kota Tua terlihat banner yang menawarkan 2 rute wisata dengan sepeda ontel. Rute pertama yang menuju sekitar Museum Bahari sudah pernah kujalani, maka kupilih rute 2 ke Kampung Arab. Dan.. ternyata pengojek ontelnya bapak yang sama yang pernah mengantarku dulu, pak Samsuri. Biaya tour ke Kampung Arab ini sebesar Rp 75.000,-
Dari depan Lapangan Fatahillah sepeda ontel melaju perlahan di antara kepadatan lalu lintas. Jalannya sudah lupa, baru kali ini aku sampai ke wilayah ini. Agak kagok sebetulnya, takut si bapak tak mampu memboncengku yang berat ini he..he… Tapi, ternyata si bapak tetap stabil gowesnya. Oh ya, aku dipinjami topi lebar ala noni Belanda yang sangat membantu melindungi dari sengatan sinar matahari.
Selain Pecinan yang berarti wilayah tempat tinggal orang-orang keturunan Tiongkok atau Cina, ada juga nama Pekojan. Kampung Arab adalah sebutan untuk wilayah Pekojan yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Nama Pekojan berasal dari kata Khoja, untuk menyebut penduduk muslim keturunan India. Masa itu imigran asal Yaman, India dlsb harus tinggal di sini dulu, baru kemudian diijinkan pindah ke wilayah lain. Tapi kini mayoritas penduduk Pekojan tak lagi orang Khoja, tetapi keturunan Tionghoa. Walau demikian masjid tua tetap terpelihara dengan baik.
Masjid Jamik Angke
Pak Samsuri mengajakku menuju lokasi terjauh dahulu berjarak kurang lebih 10-15 menit bersepeda. Masjid Jamik Angke, yang nama resminya Masjid Al-Anwar, lokasinya berada di Gg. Masjid No. 1, di selatan Jl Pangeran Tubagus Angke RT 01/RW 05, Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Masjid Jamik Angke berada dalam gang kecil di antara kepadatan rumah penduduk. Di halaman masjid yang sudah tertutup keramik dipakai untuk tempat belajar mengaji bagi anak-anak sekitar. Di seberang pagar masjid ada pemakaman dengan papan nama Makam Pangeran Syarif Hamid Bin Sultan Syarif Abd Rahman Al Kadri dari Pontianak.Wafat th 1854. Ayahnya, Sultan Syarif Abd. Rachman Al Kadri, adalah pendiri Kota Pontianak. Sang Pangeran konon adalah pimpinan pemberontakan melawan Belanda pada tahun 1800-an, namun dia tertangkap dan dibuang ke Batavia.
Di sudut-sudut di antara makam yang telah ditutupi atap itulah kami ngobrol dengan penjaga masjid dan makam. Banyak cerita yang dibagi oleh bapak ini yang keluarganya telah turun temurun mengurus masjid tua. Lokasi masjid dahulu katanya adalah sebuah bukit dan dari sini bisa memandang jauh ke seputar Batavia. Buktinya sampai kini tempat ini aman dari banjir, walau di sekelilingnya sudah terendam air. Bagian atap masjid yang tumpang susun dahulu jadi tempat persembunyian pemberontak melawan Belanda dan jadi tempat mengatur strategi pemberontakan. Cerita yang dibaginya antara lain soal minimnya dana bantuan perawatan masjid, sudah banyak bagian-bagian masjid yang rapuh, seperi pada bagian penyangga atap yang dikhawatirkan sebentar lagi akan rubuh.
Masjid Angke Jakarta didirikan pada 1761. Arsiteknya adalah Syaikh Liong Tan, dengan dana dari Ny. Tan Nio, kerabat dari Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah. Makanya gaya arsitektur Tiongkok bisa terlihat di Masjid Jami Angke ini. Syaikh Liong Tan dimakamkan di bagian belakang masjid .
Masjid Jamik AnNawier
Kunjungan berikutnya adalah ke Masjid Jami AnNawier Pekojan, terletak di Jl. Pekojan Raya No 71, Jakarta Barat, didirikan 1180 H atau 1760 M. Masjid terlihat menempel dengan rumah di kiri kanannya. Saat itu sedang ada perbaikan masjid sehingga tak banyak yang bisa dilihat, apalagi tak ada penjaga masjid, hanya tukang-tukang bangunan yang sibuk bekerja memperbaiki lantai dan lain-lain.
Di bagian dalam masjid yang berbentuk L ini banyak terlihat pilar, yang kabarnya berjumlah 33 buah. Langit-langit masjid cukup tinggi dan banyak bukaan pintu dan lubang angin, udara pun terasa mengalir sejuk, makanya walau ada tukang bekerja, masih ada juga orang yang tidur-tiduran di terasnya. Sebatang pohon kurma besar di halaman masjid, makin terasa suasana Kampung Arab he..he..
Langgar Tinggi
Di jalan yang sama diagonal dengan Masjid AnNawier, hanya terpaut 150an meter ada bangunan tua lainnya, Langgar Tinggi. Letaknya persis di pinggir Kali Angke / Krukut, tak ada halaman sama sekali. Sebuah pintu di bagian belakang Langgar Tinggi bisa terbuka ke arah kali / sungai sehingga perahu bisa menurunkan penumpang dan muatan di sini. Masa itu perahu memang jadi salah satu moda transportasi populer. .
Langgar Tinggi Pekojan berlantai dua, didirikan pada 1249 H / 1829 M. Lantai dua sebagai tempat beribadah, sedangkan lantai pertama dibuat kamar-kamar tempat orang bisa menginap. Hingga kini kamar-kamar di lantai bawah ini masih dipakai sebagai tempat berdagang. Di bagian depan bangunan tampak undakan untuk masuk ke bagian dalam yang langsung menuju ke lantai dua Langgar Tinggi Pekojan.
Bangunan ini bentuknya sangat sederhana, sesuai namanya langgar yang berarti masjid kecil, berbentuk persegi panjang. Tak banyak ornamen di sini. Teras Langgar Tinggi Pekojan berlantai kayu dan atapnya disangga pilar-pilar bergaya Eropa. Ujung atapnya melengkung mirip gaya bangunan Cina. Di sebelah kanan terdapat pintu masuk ke dalam ruang utama yang berjendela dengan kisi-kisi berupa bilah kayu sederhana pula. Puncak undakan berlanjut ke undakan menurun menuju pintu yang membuka ke kali, tapi kini pintu ke kali sudah tertutup.
Di dekat Masjid Langgar Tinggi terdapat Jembatan Kambing, jembatan yang dilewati kambing-kambing sebelum dibawa ke pejagalan (kini Jl Pejagalan). Sampai kini pun masih ada beberapa kios pedagang kambing di sini, yang sudah berdagang turun temurun sejak 200 tahun lalu.
Melihat letak Langgar Tinggi yang persis di pinggir kali, khawatir juga bangunan cagar budaya ini terkena proyek jalan inspeksi yang kini sedang digalakkan untuk mencegah banjir. Tetapi harus optimis, ketakutan ini tidak terjadi dengan melihat contoh Masjid Raden Saleh di Cikini. Masjid cagar budaya ini juga terletak di pinggir kali. Jalan inspeksi dibuat di samping masjid, sehingga masjid tetap utuh.
Demikianlah wisata religi ke 3 masjid tua di wilayah Kampung Arab Pekojan Jakarta. Selain itu sebetulnya masih ada lagi masjid Zawiah, masjid Jamik Kampung Baru Inpak di Bandengan Selatan, lalu masjid tua Al-Anshsor yang dibangun pada 1648 oleh para Muslim India, terletak di Jl Pengukiran II. Selain masjid tua, di wilayah Pekojan ini juga masih banyak rumah tua, salah satunya persis berada di seberang Masjid AnNawier. Cukup dahulu menjelajah 3 masjid itu saja, lain kali bisa datang kembali melihat masjid lainnya, hari semakin panas dan tak tega melihat si bapak ojek harus mendayung sepeda di cuaca sepanas hari itu, (tapi sempat mampir sebentar di Galeri Malaka yang adem).
wahhh menarik…baru tau mbaaaa, ini kalo ke sini ngajak Winny pasti mau deh 😀
seru reramean naik ontel ke sana Dit…
ayo ajak si Winny..
Kelihatan kalau Batavia dulu memang kota multietnis ya Mbak. Ada kelompok Eropa, Tionghoa, juga pendatang dari Timur Tengah. Terus kesemuanya bercampur sehingga menghasilkan kebudayaan yang kita lihat hari ini :)). Saya belum pernah naik sepeda di Kota Tua nih :haha, kayaknya sekali waktu nanti mesti coba deh. Terima kasih buat tulisannya yang mencerahkan ini!
secara kasat mata bisa dilihat pada busana pengantin Betawi ya…..
cobain deh sesekali ngontel, bapak2nya pada bisa cerita sejarah., dan pas pulang aku dikasih fotokpoian cerita singkat Kampung Arab
Wah ada juga yach wisata religi dan kampung arab. Ambil rutenya dari lapangan fatahillah gitu yach kak? Besok2 mau nyobain rute ini juga dech.
iya dari lapangan Fatahillah, cari aja di sekitar perpustakaan tenda dekat Museum Wayang ya
Wisata religi yg menggetarkan mbak, begitu menyatu dg lingk sekitar. Ooh bapak penggowes terima boncengan ya, sy kira hrs kayuh pedal sendiri. Lain kali ditiru ah boncengnya. Salam
iya mbak sepeda yg kayuh sendiri ada juga, tp rasanya cuma boleh di sekitar Lapangan Fatahillah
pengojek ontel itu ada paguyubannya dan dibekali sejarah wilayah Kota Tua, bisa jadi pemandu handal
saya baru tahu ada kampung arab ini.
itu rutenya lumayan juga ya jaraknya, tapi enak banget karena dibonceng~ :))
enak dibonceng sambil dengerin cerita si bapak
Aaaahh pengen kesana, moga2 bisa blusukan juga ke perkampungan di Kota Tua 😀
dicoba mbak…, sesekali wisata sambil belajar sejarah
baru tahu kalau ada wisata religi kampung arab
iya .. menarik mengenal masa lalu dari peninggalan sejarah
Mbak kereeeenn, wisatanya ke Masjid tua yah… jarang banget yg kayak gini. Pasti disambut dgn senang hati ama warga setempat.;)
Yg terakhir itu unik banget yah Mbak, pengen jg suatu waktu ke Masjid-Masjid ini..
aku emang suka dengan gedung2 tua mbak..he.he..
Wahhh baru tau nih Pekojan, makasih ya Bun, kalo ngebolang ke Jakarta pengen juga ke sana ah.
iya Rin…, masih banyak tempat menarik di Kota Tua, yuk mampir ke masjid2 bersejarah
Jakarta memang masih banyak nih yang harus dieksplor. Aku juga harus banyak jalan nih kayak Kak Monda…
aku kan jarang jalan jauh Zi, jadilah sering2 aja jalan2 di sekitaran Kota Tua
[…] Penampilan Es Selendang Mayang ini adalah potongan kue mirip kue lapis yang disiram dengan sirup gula, santan dan es batu. Adonan kuenya dibuat seperti kue lapis yang lembut, biasanya diberi pewarna merah, hijau dan putih. Kombinasi warna ini jadi cantik mirip selendang. Katanya dari situlah asal nama ‘selendang mayang’. Rasanya legit dan manis berpadu dengan rasa gurih dari santan kelapa yang enak. Disantap saat dingin bikin segar suasana, cocok banget diminum untuk melepas dahaga setelah berpanas-panas naik ojek ontel menjelajah sisi lain Kota Tua yaitu dari Kampung Arab. […]
Wahh perlu dicatat nih…kapan-kapan mesti ke sini
iya bu.. di Kota Tua itu masih banyak banget yang bisa dilihat