Telaga Warna dan Telaga Pengilon, dua obyek wisata alam utama di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, letaknya bersebelahan. Setelah dibelikan tiket masuk oleh mbak pemandu, pasukan raun (keluarga intiku plus seorang adik, total 5 orang) diajak masuk ke gerbang dan jalan beberapa langkah ke sebelah kiri dulu. Telaga yang terlihat pertama kali adalah Telaga Warna.
Telaga Warna ini berair keruh, berwarna kehijauan, dan katanya warnanya bisa berubah-ubah. Bau belerang walau samar-samar masih bisa tercium, kandungan belerang ini pulalah yang menyebabkan air telaga menjadi keruh. Walau saat itu posisi pasukan raun bukan di salah satu kawah tetapi indra penghidu masih bisa mencium bau khas belerang yang bisa menyesakkan pernafasan itu, karena sesungguhnya wilayah Dieng ini adalah sebuah kawah raksasa.
Bau samar-samar belerang tak mengubah niat sementara orang untuk berlama-lama berpose dengan latar belakang telaga. Sebatang pohon roboh yang menjorok ke tengah telaga dimanfaatkan betul sebagai pijakan dan latar belakang foto yang diambil dengan aneka jenis kamera, baik telepon genggam atau kamera saku.
Bergeser ke arah Telaga Pengilon terlihat ada panah petunjuk arah ke Batu Pandang, kelihatannya jalan mendaki bertangga-tangga, kata mbak pemandu kami juga akan ke Batu Pandang tapi lewat jalan lain. Jadi fokus ke Telaga Pengilon saja dulu.
Air di telaga Pengilon terlihat lebih jernih dibandingkan air di Telaga Warna, bahkan terlihat banyak pipa pralon kecil yang mengalirkan air telaga ke tempat lain. Di sisi telaga ini tumbuh hamparan rumput wlingi / deergrass (Scirpus grossus) yang luas. Dari plang informasi dikatakan dengan adanya rumput wlingi ini banyak burung yang bersarang di sini. Melihat lapangan rumput ini jadi terbayang aneka kegiatan menarik seperti mengintip kehadiran burung-burung liar ketika mencari makan atau bercengkrama di tepi telaga, sayang waktu itu siang hari tak terlihat kehadiran mereka.
Puas menikmati pemandangan kedua telaga saatnya melihat penampakan telaga kembar ini dari ketinggian. Nah rupanya ada jalan lain menuju Batu Pandang Ratapan Angin, makanya dengan mobil kami bergerak pindah tempat menuju sebuah titik melewati jalan tanah. Tak banyak orang yang lewat sini, kelihatannya anak-anak muda yang masih ingin mencoba segala hal baru. Masuk dari sisi ini bukan berarti bisa masuk begitu saja karena ada sebuah loket tiket sederhana. Sekali lagi mbak pemandu beli tiket masuk.
Pipa pralon ukuran kecil centang prenang di mana saja adalah hal jamak, apakah sulit mencari air di sini?
Dari loket tiket pasukan raun berjalan mendaki bukit di atas tanah kering yang menghamburkan debu kemarau. Pendakian yang cukup membuat ngos-ngosan seorang emak yang malas berolahraga. Tujuan pendakian ini adalah batu-batu tinggi besar tempat orang bisa berpijak dan selfie dengan latar belakang kedua telaga kembar. Dari titik-titik yang diberi nama Batu Pandang Ratapan Angin bisa terlihat pemandangan kedua buah telaga. Sungguh sangat cantik. Makanya bergantian anak-anak muda naik turun batu pandang itu, berpose sejenak dengan aneka gaya. Kuperhatikan ada dua gadis muda turun setelah berhasil selfie dengan aneka pose, lalu membujuk seorang rekan prianya yang sejak semula tak mau ikut mengekspreiksan diri di sana. Kata kedua gadis itu si cowok itu memang takut ketinggian. Akhirnya setelah dibujuk sekian lama dan mungkin juga karena malu melihat antrian orang yang mulai panjang, akhirnya si cowok bersedia naik dengan diiringi tepuk tangan teman-temannya.
Dasar ya gadis-gadis ini rada iseng keluatannya, melihatku yang terus memperhatikan tingkah laku mereka malahan gantian coba membujukku untuk ikut naik ke atas batu. Oh.. tentu tidak kataku, si anak ganteng yang muda belia itu saja setengah mati ketakutan bagaimana diriku yang memang takut ketinggian harus memanjat batu setinggi itu he..he.., dari tempatku berpijak walau bukan dari sudut terbaik masih jelas terlihat kedua telaga berdampingan serasi. Ini saja cukuplah bagiku tak usah memaksakan diri.
Pengilon … tentu seperti cermin nih …
ngilo itu adalah bercermin dalam bahasa Jawa
Salam saya Kak
ooh baru ngerti oom
diabndingin sm Telaga Warna yg keruh Telaga Pengilon itu bening.., artinya kaca toh
makasih oom
pipa paralon sampai naik keatas gitu ya bun, gak bisa di bawah.
ada sih mbak yg lewat bawah
ini lewat atas mungkin krn banyak kendaraan gede yg lewat
Pipa paralon yang centang prenang itu bisa jadi semacam penanda ya Kak, kalau kita sudah berada di arah yang benar ke lokasi tersebut.. 🙂
Seru nih.. semoga suatu saat kami pun bisa menjejakkan kaki di situ..
dari Jogja dekat ke sini da..
liburan sekolah berikutnya ajak fantastic four ke sini da
Akses kesannaya yang lumayan susah ya Bund…. 😀
Woo ada jalan lain ke batu pandang ratapan angin ya mbak. Sy lihat yg dari sebelah theater koq nanjak sekali. Sala.
ooh dari sebelah teater pun ada jalan juga ya mbak..,
[…] tinggi Dieng, 2.000m dpl, terkenal karena tinggalan purbakala, pemandangan alamnya, dan juga agrowisata […]
[…] sekeliling dan tak hanya fokus pada nafas tersengal kala menapaki jalan menanjak menuju Batu Pandang Ratapan Angin, untuk melihat tampilan sekaligus dua telaga kembar, Telaga Warna dan Telaga […]
catat di wishlist mu Sadina
terima kasih kunjungannya
[…] obyek pariwisata dataran tinggi Dieng. Dataran tinggi Dieng, 2.000m dpl, tak hanya terkenal karena pemandangan alamnya, agrowisata Dieng, tetapi juga wisata minat khusu, wisata sejarah […]