Assalamualaikum, wr. wb, salam perkenalan pada semua pembaca BK – Berbagi Kisahku. Saya Adel, diminta Kak Monda untuk menulis di sini, Karena tidak terbiasa, menyebabkan saya bingung akan menulis tentang apa? sedangkan permintaan empunya blog ini pantang ditampik.. *yang penting posting! begitulah titah beliau.
_______________________________________
Hampir genap setahun terdampar di pusat kerajaan mataram ini. Kotagede, kota kecil yang gede pesona dan sejarahnya. Tempat saya bekerja di sebuah puskesmas, dekat persimpangan jalan Kemasan dengan jalan Nyi Pembayun. Ketika jam istirahat tiba, jika tak terlalu panas ataupun tidak berhujan besar, saya biasa melangkahkan kaki lambat-lambat di trotoar yang cukup rapi dengan jajaran toko perhiasan perak di kiri dan kanan jalan. Trotoar yang bersih menurut pandangan saya, meskipun selang tiap beberapa meter ada yang berjualan di badan trotoar namun tidak begitu mengganggu saya sebagai pejalan kaki.
Mengharukan ketika menyadari bahwa saya berada di antara bangunan tua yang tak putus-putus, mulai dari rumah penduduk di dalam perkampungan, beberapa kantor yang masih memakai bangunan lama, masjid tua mataram yang mengingatkan saya pada masjid tuo Kayu Jao, serta makam raja-raja mataram. Hampir setahun di sini masih saja saya takjub dengan suasananya. Andai Kak Monda yang ditugaskan di puskesmas ini, saya jamin beliau bakal betah seumur hidup. Karena Kotagede adalah museum dalam ukuran besar, yang perlu waktu lama untuk memandanginya dari berbagai sudut.
TOPONIM
Selain bangunan tua, sejumlah situs peninggalan kerajaan mataram islam, juga kuliner yang unik merupakan daya tarik Kotagede. Sudah sering dibahas oleh para traveler, tinggal gugling saja banyak tulisan lengkap dan detil tentang itu semua. Hal lain yang menarik bagi saya adalah nama yang digunakan untuk menamai perkampungan serta jalan. Dipenuhi dengan nama-nama tokoh penggede jaman Mataram, seperti Nyi Pembayun (Putri Panembahan Senopati), Nyi Retno Dumilah (Istri Panembahan Senopati), Ki Penjawi, Nyi Ageng Nis, Nyi Wiji Adisoro dan lain-lain.
Memudahkan belajar sejarah, gampang memasukkannya dalam ingatan karena saya melihat nama-nama itu setiap hari. Cukup menarik untuk sedikit mempelajari asal usul nama jalan dan perkampungan ini, seperti jalan di depan puskesmas yang bernama Jl. Kemasan, konon dahulu kala penduduknya adalah para pengrajin emas walaupun sekarang sudah berganti menjadi pengrajin perak.
Kampung Prenggan, merupakan daerah kediaman Raden Rangga
yang disebut pa-rangga-an dibaca prenggan
Belajar toponim kawasan Kotagede memang menarik. Jika seseorang menyebutkan nama kampung yang terdengar unik, entah itu pasien atau teman kerja maka saya cerewet menanyai kenapa kampungnya dinamai demikian. Cara pemberian nama kampung di sini karakternya tentu berbeda jauh dengan penamaan kampung di minang sana. Jika di Minang ada sejumlah kampung yang menggunakan angka, seperti 2 x 11 VI Lingkung, V Kaum, IV Koto Aur Malintang, V Koto Kampuang Dalam, VII Koto Sungai Sarik, maka di kawasan Kotagede atau Jogja pada umumnya menggunakan nama tokoh.
Seperti kampung Joyoparanan, kampung tertua di Kotagede ini adalah tempat kediamannya Pangeran Jayaprana. Kampung Purbayan tempat tinggalnya Pangeran Purbaya, Kampung Trunojayan, Suryatmajan, Basen, Bumen, Prenggan, Sopingen, Dolahan dan masih puluhan nama kampung dengan toponim berdasarkan nama tokoh. Biasanya nama pangeran/tokoh tersebut diberi akhiran huruf ‘n’, jika nama tokohnya adalah Sopingi maka daerah kediamannya menjadi Sopingen. Perbedaan karakter toponim ala minang dengan jogja ini membuat saya secara dangkal berkesimpulan, bahwa urang minang pemuja angka sedangkan wong yoja ki memuja raja dan para pembesarnya.
BABON ANIEM
Babon Aniem di pojok pasar
Yang identik dengan Kotagede selain perak, makam tua, masjid tua, kipo, coklat monggo, adalah Babon Aniem. Merupakan gardu listrik tua warisan dari perusahaan listrik pemerintahan Belanda yang bernama NV ANIEM. Terletak di pojok Pasar Legi Kotagede, kehadirannya seolah tak dipedulikan di tengah hiruk pikuknya pasar. Biasa dijadikan tempat cantolan sangkar burung pada hari pasaran, kadang penjual gorengan memasang tendanya bersandar bangunan tersebut, terlihat lusuh dibiarkan begitu saja.
TRANSPORTASI
Bagi yang berminat untuk blusukan di kawasan Kotagede disarankan untuk menggunakan sepeda. Karena jalanan di kawasan ini sempit sedangkan motor yang bersliweran cukup padat, jika menggunakan mobil akan menyulitkan untuk parkir. Bagi yang hobi berjalan kaki akan lebih bagus lagi, karena bisa masuk ke dalam perkampungan yang cantik-cantik itu.
Jika menggunakan Trans Jogja, ada tiga halte untuk tempat turun lalu silahkan lanjutkan dengan berjalan kaki. Yang pertama adalah halte Tegal Gendu, posisinya dekat jembatan yang dibawahnya mengalir sungai Gajah Wong. Halte ini dekat dengan pertokoan perak yang besar-besar, jika hendak ke masjid tua mataram dan ke pasar Legi tinggal jalan lurus tidak begitu jauh menurut ukuran saya. Tersedia angkutan becak bagi yang merasa lelah, ada pos ojek juga tapi sering tidak ada petugas ojeknya (pos ojek di jogja umumnya php alias kosong melompong)
kawasan Tegal Gendu menuju Pasar Legi
Halte kedua merupakan halte portable di Lapangan Karang, turun di sini kita bisa langsung masuk ke dalam perkampungan. Pemandangan di dalam gang sama sekali berbeda dengan yang semula saya bayangkan, meskipun di dalam gang, rumah-rumah tua itu mempunyai halaman yang luas, ada pendopo, bahkan ada masjid cantik banget di dalam sana. Makanya hampir semua perkampungan di sini disebut dengan kampung wisata, menyenangkan nyasar keluar masuk gang karena suasananya yang memesona.
penampakan Trans Jogja melewati sungai Gajah Wong
Terakhir adalah halte Gedong Kuning, wilayah ini padat dengan toko kerajinan perak yang berukuran kecil, mereka menempati toko-toko tua di sepanjang jalan Kemasan. Di belakang pertokoan tersebut terdapat bengkel-bengkel perhiasan perak, yang lagi booming sekarang adalah pembuatan emban untuk batu akik. Harganya kisaran 150 ribu sampai dengan 250 ribu untuk satu cincin, anda bisa memberikan contoh berupa gambar cincin untuk ditiru. Pembuatannya full handmade tanpa mesin cetak, jadi kadang ada bentuk yang tidak bisa ditiru terlalu persis dengan contoh yang diberikan. Saya beberapa kali melihat hasil karya pengrajin di dalam perkampungan sini ternyata kualitasnya bagus, patut ditiru oleh para pengrajin perak di Kotogadang, sebagai sesama kampung kerajinan perak.
BLOGGER KOTAGEDE
Meskipun saya sudah tidak ngeblog lagi, saya beruntung sempat bertemu dengan seorang blogger peninggalan kerajaan mataram yang dulu pernah berjaya di jamannya. Beliau sedang mendalami ilmu di padepokan Gadjah Mada, memiliki seorang putri sholehah bernama Fira dan seekor kucing bernama Ciprut. Jika senggang dari tugas penelitiannya yang teramat padat, biasanya beliau berbaik hati memberi saya makan siang seusai pelayanan di Puskesmas. Kehadiran beliau membuat Kotagede semakin menyenangkan bagi saya.
fira mengira ini mbahKung lagi syuting Ftv di Kotagede
Demikian beberapa hal random tentang Kotagede, terimakasih untuk teman²nya Kak Monda yang sudah meluangkan waktu untuk membaca. Ternyata belajar menulis lagi itu cukup membuat pegal karena sulit mendapatkan rasa bahasa yang biasanya menyertai. Memang baiknya rutin menulis seperti dicontohkan oleh dua senior ini, yang sudah menerbitkan sejumlah karya buku. Untuk teman² yang sudah rutin menulis, jangan pernah berhenti ya..!
kayanya kenall inih sama blogger yg inih,,,
titip salammm nanti kalau inon ke yogya ajak muter2 ke kota gede yakkk
tapi kakinya masih kuat gak,,, soalnya blogger yang ini inon ajak2 muter di yogya dari jam 10 ampe jam 4 pulang2 kaki ne pegelll
titip salam dan pelukk yakk buat sipipi chubbynya inon yang semakin cantikk
nah.. katanya nggak cukup sehari Non menjelajahi Kotagede, kudu seumur hidup he..he..
peluuk erat makasih banget, udah mau nulis di sini
jalan di Kotagede impian banget, kemarin itu hampir2 jadi kenyataan pas TDJT, semoga lain kali ada rejeki nya
pakem toponimi ala Mataram ini berlaku juga mak di tanah Betawi
Ragunan itu dulunya kediaman Pangeran Wiraguna
dan Matraman di Jakarta Timur itu dulunya daerah tempat tinggal tentara Mataram sewaktu berperang menyerang Kompeni di Batavia
Wah kota gede cakep ya untuk tujuan wisata. Kulinernya yang khas disana apa?
nah untuk menjawab pertanyaan uda Alris ini bagaimana kalau kita minta lagi urang Agam ini buat satu postingan khusus kuliner Kotagede?
aku jadi merasa bagaimana karna belum pernah bertemu urang agam ini di negeri mataram…
belum ketemu toh..? kudu melipir ke Kemasan Tik
Pernah ketemu waktu bliau masih nomaden bulak balik Aur-Jogja. Habis menetap malah blm ketemu. Hehe….
Btw, di lapangan karang ada sate terkenal, namanya sate lapangan karang… Sate sapi dikasih kuah gt. Pasti Bundo pernah makan kuliner ini,,,
Terima kasih mbak Monda yg bhasil mengajak pujangga Aur berbagi keanggunan bumi Mataram. Uni Adel trim ya mengobati sebagian rindu kami akan karya pemadu amatan dlm jalinan kata khas Uni. Ooh bertetangga dg kelg ummi Fira yah. Salam
bujuknya ini udah berbulan2 mbak.. he..he.., dari tadinya cuma dikirimi foto Babon Anim.., akhirnya dibujuk lagi sampai jadi tulisan yang bikin ngiler ini
Menulis mari menulis (lagi) 😀
Penulis tamu Kak Monda ini bekerja di Puskesmas Kotagede ya? Sebagai dokter apa? Boleh kenalan nggak? Siapa tau nanti saya berobat ke sana bisa gratisssss…. 😉 :p
Kotagede, tempat di mana pertama kali aku melihat keindahan Jogja sehingga jatuh cinta dengannya.. Penceritaan penulis tamu ini, sungguh cihuy, sehingga membuat Kotagede semakin tampak indah.. 🙂
Hehehe, Kotagede adalah salah satu bagian kota Jogja yang jarang sekali aku explore 😛 .
wah asyiknya….hunting objek live sketch lebih baik pastinya di sana ya…siap nemani nggak ya?
Aku selalu suka kota gede buat beli perak
Tulisannya bagus,runtut, dan padat informasi.
Saya jadi pengi belajar menulis juga
Semoga lain kali bisa ke Yogya lagi dan berguru kepadanya
Salam sayang dari Jombang
hmmmm…..
kota gede rupanya begitu yah kak dulu membayangkan saja terus lihat postingan kakak
Tulisannya bagus. Yogyakarta emang “Never Ending Exploration”. hahahaha..!!!!
iya bener Zaki, aku udah dua kali ke Kotagede tapi belum juga eksplor blusukan
BunMon, tolong sampaikan kepada eMak urang agam ini, kenapa atau itu ladangnya nggak dibuka lagi? kan kangen main2 di ladang 🙁
makanya ladang nggak dibajak, dipaksain muncul di sini..
ntar tunggu jawaban langsung dari emaknya ya
Foto terakhir yg si bapak naik sepeda keren banget! 🙂
jadi kangen jogja..udah lama banget ga ke kota gede
Ada yang ngundang … ngundangnya nyuruh ngeblog lagi … yang nyuruh yang numpang ngeblog … 😆
hadeeh…., russian smiley…, senyumnya meni lebar
Lupa kalo janji mau komen serius 😆
Inget Kota Gede itu inget dulu tahun 1994 nganter Lelly kasih proposal ke salah satu penerbit untuk bantuan buku KKN ..
Cuman lupa nama daerahnya. Yang aku ingat, masuk gang, ketemu masjid tua nuansa hijau, terus rumah yang dijadikan penerbitan buku2 agama khusus untuk anak-anak sekolah. Nah tuh kebayang gak clue itu daerah mana ? he he
Selain itu yang diingat adalah di depan stasiun Tugu, mobilku eh mobil pinjaman ditabrak motor he he.
Nanti suatu saat saya diminta traktir lah sama Lelly di depan puskesmas 😆
ke Jogja terlewatkan mampir ke Kota Gede. Salam kenal Mbak Adel
aku rasa kalian udah saling kenal mbak Lia
Amay, apa kabar?
Duh kangen deh…Ayo atuh rutin ngeblog lagi…:)
Awalnya saya mengira Agam itu orang Aceh karena dalam bahasa Aceh agam artinya laki-laki. Rupanya bukan yaa
Agam itu juga salah satu Kabupaten di Sumbar
agam juga sama dengan ucok ya Liza
Ternyata kak Monda juga tertarik dengan uniknya orang Minang memberi nama suatu daerah/ kampung ya …..
He3… ada 2 x 11 VI Lingkung, V Kaum, IV Koto Aur Malintang, V Koto Kampuang Dalam, VII Koto Sungai Sarik.
[…] lagi blog ini dapat kehormatan disambangi penulis tamu, ini tulisan kedua beliau setelah Urang Agam di Negeri Mataram , enjoy […]
[…] dan kasih cap jempol. Dengan pemaksaan, 2 buah tulisannya jadi tulisan tamu di blog ini yaitu Urang Agam di Negeri Mataram dan Yesterday in Bandung. Beliau ini juga yang mendandani blog Berbagi Kisahku, memasangkan […]
[…] 10 Agustus 2012 siang ada sms masuk, dari mbak Adel penulis tamu di sini dengan tulisannya Urang Agam di Negeri Mataram . Katanya di Facebook pak de melimpahkan beberapa blog yang sudah tidak produktif untuk […]
[…] tulisannya yaitu Elje yang sedang vakum ngeblog, urun rembug dengan dua tulisan, Urang Agam di Negeri Mataram dan review buku Yesterday in Bandung. lalu Dey yang kuminta menarasikan fotoku di Gapai Jemariku […]
[…] Gedung ini dikukuhkan sebagai cagar budaya oleh Gubernur DKI pada tahun 2011 dan diresmikan oleh Menteri Negara BUMN kala itu Dahlan Iskan. Alasan pemilihannya adalah karena ini adalah kantor pertama yang dimiliki PLN. Sebuah sejarah bagi perusahaan energi nasional yang menandakan kejayaan tenaga listrik di pulau Jawa. Perusahaan listrik kala itu sebetulnya tak hanya satu. Salah satu lainnya yang terbentuk kemudian adalah NV ANIEM di Yogyakarta. Peninggalannya yang masih ada yaitu sebuah gardu yang disebut Babon Aniem di Kota Gede. […]