Tabula rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain “kosong”, dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya.” sumber : Wikipedia
Seperti itulah isi film Tabula Rasa ini yang mengisahkan pengalaman Hans yang belum pernah makan masakan Padang sampai akhirnya bisa menjadi juru masak di rumah makan Padang.
Tentu tak sesederhana itu jalan ceritanya. Ada kisah anak muda yang hampir putus asa karena cita-citanya kandas di tengah jalan. Hans bercita-cita jadi atlit sepak bola hebat. Impiannya tampak semakin dekat mana kala dia mendapat undangan ke Jakarta dari seorang pencari bakat pemain sepak bola. Setelah ditinggalkannya Serui, pulau di utara Papua, apa daya di Jakarta kakinya patah dan harus terusir dari klub sepak bola. Ia hidup menggelandang sampai akhirnya ditemukan dalam keadaan terkapar oleh seorang ibu yang pulang belanja dari pasar.
Dibawalah ia ke rumah makan milik si Amak dan diberi makan. Hans tak mau makan cuma-cuma dan memaksa harus cuci piring. Kekerasan hati Hans inilah mungkin yang membuat Amak jadi menaruh perhatian walau sempat pula mereka berbantahan karena Hans minta upah, Amak tak mau memberi karena tak pernah menjanjikan upah. Amak merasa cukup dengan membeinya makan saja.
Film ini berkisah di seputar pasar dan rumah makan kecil milik Amak di jalan raya Cileungsi – Jonggol dan rel kereta api. Kenyataannya tak ada jalur kereta api di wilayah itu, , atau aku salah ya ? Apakah Amak belanja beras di wilayah Pasar Induk Cipinang yang jauhnya berkilo-kilometer dari Cileungsi ? Tapi bukankah di Cipinang tak ada lagi becak ? Karena Amak pulang belanja naik becak lho. He..he.. whatever lah…, logika sempitku tak mengganggu jalan cerita kok.
Aku mengamati detail adegan-adegan memasak karena di media disebutkan film ini dapat masukan dari praktisi kuliner Minang terkenal untuk adegan di dapur. Ah.. adegan memasak rendang itu semua seperti yang kualami di masa kecil. Cara amak mengajarkan Hans menggiling cabai dengan anak batu gilingan bulat yang khas Sumatera persis seperti ibuku mengajarkan. Cara memeras santan dengan alat penjepit dari kayu mirip dengan alat yang pernah kuceritakan di kisah Santan Kelapa Untuk Rendang. Cara menghidupkan api dengan peniup dari buluh bambu juga dipakai di kampungku. Tak lupa adegan mengkacau (mengaduk) rendang yang harus sabar dan perlahan-lahan supaya rendang tidak hancur atau menggumpal mengingatkan keluh kesah kami bila mendapat giliran tugas itu.
Di sepanjang film ini memakai bahasa Minang dan logat Papua.Kedua budaya dan bahasa ini dekat di hatiku, aku serasa pulang kampung, apalagi dulu aku pernah bisa berbicara dengan logat Papua, seperti pernah kuceritakan di So Lama Tara Bakudapa.
Film ini berjalan lancar menceritakan persaingan dua rumah makan Padang, ada konflik, penyesalan dan akhirnya perdamaian. Logat aktor-aktornya mulus mungkin ada yang memang asli fasih berbahasa daerahnya. Film terasa begitu wajarnya. sehingga tak terasa sudah berakhir. Aku suka film ini yang mengangkat kesederhanaan, budaya daerah dan kerukunan masyarakat yang berbeda suku, agama dan ras. Aku suka adegan ketika amak belajar makan masakan Hans, papeda dengan ikan kuah kuning, makan papeda itu langsung ditelan jangan dikunyah he..he… Juga adegan ketika Hans menceritakan anekdot babi dan kasih singkatan baru MOP – menipu orang Padang. Hans juga mulai belajar bahasa Minang walau dengan dialek Papua “saketek-saketek tho”
Pokoknya film ini kurekomendasikan banget deh. (Sayangnya tadi teater sepi, yang nonton cuma dua puluhan orang).
barusan baca review yang lain dan bikin aga bingung Mba Monda, setelah baca ini jadi penasaran. 😀
Makasih Mba.. 🙂
sama2 Dan…,
Amatan detail Mbak Monda luar biasa dan tetap mendudukkan serta menikmati film sesuai alurnya dengan kenangan rendangnya. Tabula rasa….saat menera kembali rasa.
Terima kasih mbak berbagi cerita film. Selamat berakhir pekan
untungnya mbak bahasa Minang di film ini bukan yg ngomongnya cepat, jadi bisa ngertilah .., serasa di Bukittinggi he..he…dan suka banget juga suasana dapurnya itu sih.., serasa memang ada dalam kehidupan harian kita
Kirain tabula itu Bahasa Indonesia… Penasaran saya Bu sama filmnya gara-gara baca tulisan Bu Mon… 😀
tadinya juga kupikir dari bahasa Indonesia, setelah googling ada banyak karya lain dalam dan luar negri yg pakai judul Tabula Rasa
kemarin saya lihat produser dan pemainnya diwawancarai di kick andy
waah sayang aku nggak lihat..,
semoga makin banyak deh produser film seperti mereka, yg mau buat film bagus seperti ini..
Pingin nonton…tapi apa daya, tak ada bioskop di nangroe tercinta
sungguh nggak ada bioskop di sana? baru tau Liz…
Assalaamu’alaikum wr.wb, mbak Monda….
Menarik sekali plot cerita filem ini. Penuh dengan semangat juang hidup di rantau orang dan salin membantu yang akhirnya menumbuhkan suasana akrab dalam berbagi rasa dan pengalaman. Ingin menontonnya mbak. Mudahan ada dalam you tube ya.
Salam manis dari Sarikei, Sarawak. 🙂
mudahan ada kak.., biar akak bisa nonton fan aku juga pengen nonton ulang
Seru sepertinya, MM. Mestinya akua nonton ya hehehehe
kalau aku aja bisa terpingkal2 dengar candaan di sini apalagi uni.. lebih banyak lagi yang bisa diserap
sama ih, jadi penasaran membaca review ini. Cara menghidupkan tungku itu aku sempat mengalami, kalau soal ngulek pakai batu bulat itu aku melihat ibu mertuaku (Palembang yang tinggal di Lampung) melakukannya. sayang aku belum belajar teknik mengulek, ngandelin blender
sama aja kok mbak, aku juga sekarang ngandelin blender dan uni bumbu di pasar
mbak Monda ini aslinya Minang atau Mandailing sih?
he..he…, karena dua daerah itu tetanggan kurang lebih punya bahasa dan kebiasaan yg hampir mirip
Film ini bagus. Kemarin lihat wawancara produsernya di Kick Andy. Jadi pengen nonton.
bagus mbak ngangkat keseharian dan buday kita, nggak cerita yg mewah2
Pernah liat thrillernya doang Bun, inget bgt ada salah satu tokohnya yg bilang (kurleb) begini : rumah makan Padang yg masak orang Papua
hihihihi… seru sepertinya film ini ya Bun 🙂
iya ada adegan itu, yg ngomong itu juru masak yg digantiin si Hans
Aku blm nonton film ini, dr referensi kayaknya menarik ya.
kenapa sepi?
aku pikir trailernya yang kurang menarik, apalagi waktu tayang di tv, entah kenapa cuplikannya sedikit sekali dan gak bikin penasaran..hehe
bisa jadi begitu.
bisa jadi juga karena filmnya nggak yg berantem2 atau seram2an
Apa settingannya enggak di daerah itu ya, Bund? Hehehe
Emangnya kenapa, kalau makan Papeda dikunyah? Saya cari tahu deh, googling. 🙂
papeda itu dibuat dari tepung sagu yg jadi kenyal2 gitu…, nggak bakalan halus kalau dikunyah… bikin capek rahang aja
sama teksturnya dengan cireng
Banyak yang bilang bagus. Tapi aku masih belum nonton kak >.<
kayaknya Eka bakalan suka , adegan masaknya asyik lho..
Kalok yang menyangkut ranah Minang gini, aku sukak kali, Kak.. Heheh..
samanya kita ya Beb….
Kesederhanaan memberikan nilai akhir yang luar biasa mbak yach..xixixi kebayang dech kalau saudara kita yang dari daerah lain, berbicara bahasa daerah orang lain. Pasti ada lucunya..seperti yang saya alami 1 bulan di Serpong zizizizizi
wah,kayaknya bagus banget nih filmnya..q brlum lihat cuplikanya,wawancaranya dikit banget waktu lihat di kick andy…oke,catet!!!
Assalaamu’alaikum wr.wb, mbak Monda..
Selamat menyambut Hari Raya Aidil Adha…
Bulan Zulhijjah bulan mulia
Di sambut dengan hati gembira
10 Zulhijjah kini menjelma
Tangan dihulur maaf dipinta
Maaf Zahir dan Bathin
Salam Aidil Adha dari Sarikei, Sarawak
SITI FATIMAH AHMAD
Kisah dengan latar budaya biasanya banyak menyelipkan pesan ya mbak… semoga bisa nonton film ini kapan-kapan.
terimakasih reviewnya 🙂
Baca beberapa resensi mengenai film ini yang rata-rata memuji, kali ini baca lagi resensi dari Mbak Monda, bikin penasaran pengen nonton juga jadinya 🙂
He3 noted filmya.
Harus nonton …… 🙂
Cocok nih hiburan buat istri sya yg asalnya dr Minang.
Pernah nonton pemain, sutradara dn produsernya di Sarah Sechan,
Sepertinya benar2 menarik filmnya ya Kak,
Belum nonton.
Namanya juga film kak, pasti akan ada konflik dan akhirnya perdamaian. Namun terkadang setting yang tidak kelihatan seperti di film itu yang mungkin susah ditemukan. Saya belum menonton film ini, jadi gak tau harus komentar apa. Tapi yang pasti yang mengangkat budaya dan kearifan lokal tentulebih baik.
Kayaknya film ini bakalan laris deh soalnya akhir-akhir ini sering banget orang bicara Tabula Rasa.
Baca review mbak Monda ini asyik sekali. terutama dibagian jalur kereta api dan becak. Mungkin saja sang penulis kurang teliti dalam memilih lokasi, sehingga ketika ada penonton yang jeli baru terasa janggalnya hehe
wah, serasa pulang ya pas nonton? kebayang rasanya deh. pasti mak nyes banget. 😀
aku juga sempat mikir soal lokasi pengambilan gambar di film itu. waktu Hans jadi kuli beras (eh, bener nggak sih kuli beras?) itu kayaknya di Cipinang deh. tapi kok ada becak? hihihi. ternyata pikiran kita sama ya. 😀
[…] Sebenarnya agak jarang nonton film, maksudnya nonton film ke bioskop gitu. Malas keluar rumahnya, kecuali kalau pas bareng anak-anak. Paling sering nonton film itu ya di TV aja. Dan nonton itu juga biasanya sih nggak bisa sampai hafal dialog atau setting, ingatanku tentang itu hilang begitu saja terbawa angin he..he.. Salut deh sama yang bisa mengingat ditel film. Tapi ada kok perkecualian. Film yang bisa kuingat ditelnya misalnya film Tabula Rasa. […]
Whahaa.. penasaran sama filmnya, mengangkat citarasa masakan daerah, lengkap sama cara buatnya.
temanya unik tapi terasa wajar, seperti lihat kehidupan kita sendiri mbak
[…] canggih. Aku belum bisa menulis review standard kritikus film tentunya. Berani menulis review film Tabula Rasa, Rasa Pulang Kampung umpamanya karena merasa sangat dekat dengan adegan dan cara memasak ala Minangkabau. Suasana yang […]