Jalan-jalan tak harus direncanakan khusus, seringkali kami pergi spontan saja, tentunya lokasi tujuan yang nggak terlalu perlu pesan ini booking itu. Alasannya karena hanya punya cuti terbatas yang harus disesuaikan dengan waktu libur sekolah supaya bisa libur sekeluarga. Pergi sendiri ? Rasanya nggak mungkin, karena anak-anak juga sudah tertular candu raun. Otomatis kalau bepergian di waktu-waktu liburan sekolah itu perlu budget lumayan besar , saat peak season ongkos transportasi dan hotel naik semua. Makanya saat ada kesempatan keluar kota misalnya saat kondangan selain bisa menjalin silaturahmi juga dimanfaatkan buat jalan-jalan. Sayang banget kan sudah datang dari jauh tapi langsung pulang.
Undangan pernikahan di Purwakarta kami pakai juga sebagai ajang cuci mata. Selesai menghadiri resepsi pernikahan berlanjut dengan mengelilingi kota Purwakarta. Kota ini unik lho, paling tidak dari yang kulihat sepintas lalu. Di atas jalan utamanya bergelantungan caping-caping di tali yang direntangkan dari kiri ke kanan jalan. Tiang lampu pun berhias, sangkar burung mini warna warni menutupi bola lampu. Kesannya dekorasi ini memeriahkan dan mempercantik wajah kota yang dahulu menjadi perlintasan orang Jakarta yang hendak ke Bandung.
Patung dan monumen menghiasi pojok-pojok persimpangan kota Purwakarta. Patung tokoh-tokoh nasional ada di tempat-tempat strategis. Yang sempat kuabadikan antara lain patung sosok Gus Dur, juga tokoh pewayangan. Uniknya kota yang punya makanan khas bernama Sate Maranggi ini juga membuatkan tugu sate sapi ini di sudut kota yang rumah makannya sudah sangat terkenal dan banyak didatangi orang, kalau tak salah namanya daerah Bungursari.
Sebelum berangkat ke Purwakarta kusempatkan googling mencari obyek sejarah di kota ini, mencari bangunan tua yang penuh cerita. Info yang didapat tentang Gedung Karesidenan, Masjid Agung Purwakarta dan Pendopo Kabupaten. Tetapi yang sempat didatangi hanya dua tempat pertama.
Foto-foto di atas ini adalah Gedung Karesidenan Purwakarta. Letaknya di bagian selatan Situ Buleud, sebuah taman kota yang hijau dengan pepohonan besar dan sebuah situ. Gedung ini sendiri pun berhalaman luas yang ditumbuhi pohon- pohon asam tinggi menjulang mengapit jalur masuknya. Gedung Karesidenan kini dipakai sebagai kantor sebuah instansi, kantor Badan Koordinasi Wilayah Purwakarta.. Di hari Minggu itu tentu saja kantor tutup, sehingga hanya bisa menikmati gedung dari luar.
Gedung yang berada di jalan K.K. Singawinata ini dibangun pada awal abad 20 bergaya Indische Empire Stijl. Gedung ini berserambi, tiang penyangga atap serambi gaya khas kolonial. Ada dua tangga pendek di bagian tengah serambi. Pembatas serambinya cantik sekali bermotif trawangan. Motif trawangan ini juga terlihat di antara atap bangunan dengan serambi yaitu pada penutup lubang ventilasi. Di bagian kiri dan kanan bangunan ada paviliun yang terhubung oleh koridor terbuka (salah ciri khas rumah kolonial yang mengingatkanku pada rumah dinas bapakku dulu). Arsitektur dan fungsi tetap dipertahankan, sangat menarik untuk menjadikannya alat peraga belajar sejarah Purwakarta. (Sumber : Disparbud Jabar )
Kunjungan selanjutnya ke Masjid Agung Baing Yusuf Purwakarta. Masjid ini didirikan Syekh Baing Yusuf, dan dulu menjadi tempat penyebaran agama Islam, dibangun pada 1826. Masjid ini sudah beberapa kali renovasi tetapi masih mepertahankan bentuk asli. Lokasinya di Jl. Alun-alun Barat, Kampung Kaum, Desa Cipaisan, Kecamatan Purwakarta.
Pulang dari sebuah tempat, tentu jangan lupakan membeli buah tangan untuk orang-orang di rumah. Ada beberapa sentra oleh-oleh khas Purwakarta, bisa bawa pulang makanan khas simping kaum, atau cemilan gurih aneka kripik, seperti keripik pisang.
Tapi memang benaaar, kalau jalan sama anak-anak itu merogoh saku dalaaaam sekali hehe
Ndak tau ya apa anak-anak saya sudah seperti orang Jerman, yg susah spontan diajak pergi, pasti bilang “mama, kita sudah punya rencana sendiri, kenapa ngga bilang dari minggu lalu..??” Lhaaa kaya bikin janji sama dokter ajaaaa hihi
merogoh saki dalam2 sampai kering ya teh..,, he..he.. banyak mintanya
Motif trawangan itu yang seperti apa sih Mbak :hehe. Bagus bentuk bangunan karesidenannya, tidak murni Indisch Empire tapi sudah menyesuaikan diri dengan kondisi iklim lokal Indonesia, soalnya ada teras supaya hujan tidak bertempias. Saya setuju kalau anak-anak belajar sejarah dari bangunan tua yang ada di kota–minimal tahu, lalu mengerti berharganya, kemudian turut menjaga! Semoga kesampaian :amin.
motif trawangan itu lho yang ada lubang2 anginnya
oh iya jendela dan pintunya juga model jalusi, dan ganda .., jadi aliran udara bisa bebas masuk, ciri tropis juga
gmn adek + kakak gak ketularan.. MS sama Om abang kompakan tukang raun.. candu raun level dewa..! 😀
ha..ha.. iya tuh.. suka ngotot ngajak jalan2
Kompakan candu raun ya mbak….. Ada saatnya mulai sulit setting waktu. Kami raun barengan jenguk anak hehe…
Terima kasih mbak, berbagi Purwakarta, ingatan saya sebatas Jatilihur. Selamat berakhir pekan
Candu raun, hehehe…
Purwakarta menurut saya banyak menghamburkan uang untuk patung yang belum tentu bermanfaat. Padahal duit itu bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.
saya dari dulu pengen banget ke purwakarta (karena ada temen yang kelahiran kota itu) tapi belum kesampean sampe sekarang 🙁
btw, salam kenal mbak 🙂
Yang gw inget dari purwakarta cuman tumpukan gerbong dan sate maranggi hahaha