Setelah rumah kelahiran Bung Hatta, satu lagi rumah bersejarah dari tokoh terkenal kudatangi di Sumatera Barat. Bundo LJ yang merancang kunjungan ke rumah kelahiran Buya Hamka ini. Aku sama sekali tak tahu kampung asal beliau, jadi agak bertanya-tanya dalam hati.
Rumah masa kecil Buya ini ada di tepi danau Maninjau, di Sungai Batang, Tanjung Raya, kabupaten Agam. Perjalanan menuju ke sana saja sudah memukau, melalui kelok 44 yang memunculkan sedikit demi sedikit keindahan danau mulai dari tempat yang tinggi dari arah kota Bukittinggi sampai tepat tiba di tepinya dan menyusuri pinggir danau. Di ujung kelok 44 kendaraan dibelokkan ke kiri ( ke kanan adalah jalan menuju kampungnya Alif “Man Jadda wa Jadda”). Benar tamasya mata yang sangat memukau apalagi setelah nafas sempat tertahan deg-degan menuruni jalan yang curam dan sempit.
Lihat saja yuk beberapa foto panorama seputar Danau Maninjau. Mudah-mudahan cukup mewakili biar foto yang berbicara.
Almarhum Buya HAMKA (Haji Abdul Malik bin Karim Amrullah) adalah seorang ulama terkemuka dan penulis roman terkenal . Karya Buya HAMKA yang banyak dibicarakan yaitu roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Kalau tak salah judul buku terakhir itu sudah difilmkan juga. Kedua buku ini akhirnya kubeli lagi ( dulu bacanya cuma minjam di perpustakaan) di pkl di depan Istana Baso Pagaruyung, bukan membeli di toko depan rumah beliau. Kedua roman ini sukses membuat mata bengkak he..he…
Rumah kelahiran Buya HAMKA (sebetulnya ini rumah nenek beliau) kini dijadikan museum, yang dikelola oleh kerabatnya. Rumah ini tipikal rumah di Ranah Minang, rumah bagonjong terbuat dari kayu lengkap dengan hiasan motif tradisional. Di rumah ini hanya ada satu kamar tidur. Koleksi di museum ini buku-buku karya beliau, aneka penghargaan dan foto-foto. Foto Buya dengan penampilan khasnya seperti foto paling atas itu. Buya hanya tinggal sebentar di rumah ini, karena sejak kanak-kanak beliau merantau mencari ilmu meninggalkan kampung mengikuti ayahnya .
Saat kami berkunjung ke sana, di dalam rumah telah ada satu kelompok turis Malaysia yang sedang duduk mendengarkan seseorang bicara. Kami langsung dipersilahkan untuk duduk juga. Ternyata sedang ada cerita tentang kisah hidup Buya. Cara penyampaian si bapak yang berbeli-belit dan ke sana kemari membuat kami gelisah. Satu demi satu kami berdiri dan foto sana sini, sampai perlahan melangkah keluar. Tapi si bapak memanggil dan menyuruh isi buku tamu dan meninggalkan sumbangan. Info dari penduduk di depan rumah, ternyata bapak ini hanya menggantikan pemandu yang sedang sakit, pantaslah mengecewakan.
Sepulang dari rumah itu, sesuai keterangan penduduk kami mencari makam ayahanda Buya, yang juga seorang ulama. Tak terlalu jauh dari museum, ada papan cagar budaya makam tersebut. Letaknya di sebelah kiri jalan, kami hanya mampir sebentar melihat makam sederhana itu.
Oalaa pantes berbelit-belit yah Mba Mon ternyata pengganti tho hehehehe
he..he.. bener Ye..kalau bukan ahlinya malah bikin kacau
insya Allah ada kesempatan berkunjung ke sana ya
trims kunjungannya
semoga bisa berkunjung kesana…
terima kasih foto-fotonya Bun… 🙂
aamiin..
pa kabar ? udah lama nggak ngeblog ya?
hadehh… aku akan menulis ttg keberadaan petugas di RKBH dan rumah buya hamka yg kita temui.. ada sisi mengecewakan pada keduanya.
rumah yang istimewa tsb terasa ternoda, menurutku.. 😛
waduuh…, di rkbh (btw baru nyadar keduanya inisialnya sama ) ada yg negatifnya ya, pdhal sekian lama kesannya kan baik aja
ditunggu ceritanya
tempatnya sangat indah ya Bunda …
Saya tahu tentang beliau waktu SMP, saat pelajaran bahasa Indonesia … 😀
ya Hind.., beliau uni termasuk sastrawan angkatan berapa ya…, lupa deh…
pastinya bukan anggkatan 20 ya
aku cuma pernah lewat bundo,,kebetulan waktu itu pasca gempa syukurlah ya rumah beliau tidak kenapa2..
gempa besar waktu itu kena daerah sini juga ya, kata bundo LJ banyak ngarai longsor ya
Menarik menlihat peninggalan bersejarah, lebih-lebih milik orang yang kita kagumi ya Bun :).
Btw dalam 2 jendela saya menemukan artikel yang saling berhubungan nih … di LJ juga walau melihatnya dari sisi yang lain 🙂 —> keren.
iya kang si emak kaget juga aku posting hampir sama, padahal nggak janjian
draft udah jadu lama…, cuma males teus ngelanjutin
kok jadi pengenbaca dua buku itu ya Mba monda. Dulu pas sma baca Tenggelamnya Kapal Van der Wijk tapi udah lupa ceritanya.
iya .., aku juga agak lupa makanya beli Dan
Pelajaran SD, SMP yang menorehkan kekaguman karya sastra putra-putra Minang, dan bersyukur kini menikmati museum. Perpaduan keelokan alam dan budaya memukau semoga menjadi berkah bagi masyarakat Sumbar ya mbak. Salam
iya akhirnya sampai ke sini juga, bayanganku tadinya musti menyebrang danau naik perahu
Kelok 44 itu keloknya berjumlah 44 bun?
betul mbak ada 44, dan di tiap kelok dikasih plang nomornya
Kalau saya melihat foto yang pertama itu
saya jadi inget’
Gusti “Ajo” Ramli sang garam manis
Salam saya
iya oom si ajo gravatarnya pake latar belakang foto buya
saya suka baca buku beliau yang judulnya tasauf modern
aah..aku malah belum baca mbak buku itu ..
rada berat ya..
Pantaslah yaa.. kalau bukan pemandu asli pasti gak pas dan dan bisa bikin orang bosan.
he..he.. betul.. yg denger sampe gelisah..
huhuhuhu…jadi tambah pengen berwisata ke Bukik nih Bun…
ayuuk Orin.. ajak si akang…. .. asyik deh
Alhamdulillah senang hati melihat gambar-gambar rumah Buya Hamka, kapan ya saya dapat berkunjung kerumah beliau?, Ya syukur lah dari blog ini bisa malihat dari gambar saja walaupun belum puas terima kasih sanakku atas blok ini. Halo sanak Berbagi Kisahku saya punya Blog minta izin ikut di sini untuk berbagi cerita lain, nama Blog saya Bukik Ranah Ilmu silakan para pembaca blog Berbagi Kisahku mampir melihat-lihat biwaktu senggang. Terima kasih
Assalamu’alaiku sanak, bila ingin berkunkung ke Blok Bukik ranah Ilmu klik disini