Nisan tanpa nama itu membuatku tercekat menahan haru dan kelenjar air mata glandula lacrimalis hampir meneteskan produknya keluar. Apa rasanya perasaan orang yang tahu bahwa ia akan terkubur tanpa tanda pengenal ?. Bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan tanpa tahu kejelasan nasib kerabatnya ? Pertanyaan itu yang timbul di kepalaku. Nisan-nisan yang berada di sudut itu hanya sepotong batu kecil tanpa aksara, hanya deretan angka yang tertera di situ, 63, 331 dan bahkan ada yang sudah terhapus tanpa tanda sama sekali.
Kumpulan batu nisan itu adalah nisan dari makam para pekerja tambang batu bara Sawahlunto yang berpulang beratus tahun lalu. Di masa awal pembukaan tambang batubara oleh pemerintah kolonial Belanda, para pekerjanya memang orang-orang tahanan dari berbagai tempat di Nusantara. Mereka dirantai kakinya, maka julukan buat mereka adalah orang rantai. Angka-angka itu adalah tanda pengenal yang dirajah di atas tubuh mereka, maka bila meninggal hanya tato angka di badan itulah pengenalnya. Tak ada catatan siapa si nomor 63.
Nisan-nisan ini dikumpulkan dan dibeli kembali oleh pihak Museum Gudang Ransoem Sawahlunto dari penduduk sekitar yang menemukannya di hutan. Bahkan ada sebagian rumah penduduk yang memakai batu nisan ini sebagai anak tangga rumah. Demikian keterangan dari pemandu ramah di Museum, uni Mimit yang keterangannya sangat informatif.
Museum Gudang Ransum Sawahlunto ditata dengan sangat baik. Peletakan obyek, pencahayaan, informasi dan kenyamanan (seluruh ruangan nyaman dengan AC) sangat diperhatikan. Bahkan tanpa diminta, pemandu pun disediakan tanpa ada biaya selain tiket masuk seharga Rp 4000 (dewasa) dan Rp 2000 (anak-anak). Sebelum berkeliling museum pengunjung menyaksikan dahulu rekaman suasana masa awal kehidupan di pertambangan. Ruang audio visualnya sangat nyaman. Museum yang patut dipujikan, sebanding dengan Museum Bank Indonesia di Jakarta.
Koleksi museum ini adalah peralatan masak memasak berukuran raksasa, maklumlah peralatan itu untuk mensuplai ribuan orang, tak hanya pekerja tetapi juga keluarganya. Ada wajan dan panci yang sangat besar, bandingkan dengan ukuran tubuhku, Cupid dan eMak LJ. Juga reproduksi foto-foto tua suasana tambang.

Jika panci sebesar itu,lalu kompornya? Foto ini searah jarum jam adalah tungku pembakaran, cerobong asap dan bagian dalam tungku pembakaran. Panas yang dihasilkan dialirkan melalui pipa untuk memasak.
Di kompleks Museum ini ada bangunan lain yang dipakai sebagai ruang Etnografi, Ruang IPTEK dan Gudang Es dan ruang khusus untuk peletakan foto-foto koleksi Museum Galeri Melaka, Museum dari Malaysia ini bekerja sama dengan Museum Gudang Ransum, seperti sister museum, sehingga di Melaka pun ada ruang khusus untuk Museum Gudang Ransum.
Yang agak mengganggu memang bau dari Rumah Potong Hewan di bagian kanan museum yang masih beroperasi hingga kini tetapi inipun tak lama lagi akan ditukar guling oleh pihak museum, sehingga bau anyir itu pun dipastikan akan hilang.
masih ada yang kececer ya kak.. 😛
ada pabrik tahu juga di dalam situ..
ini yang menarik krn kegiatan harian masyarakat tetap terasa disekitar museum, masih penasaran untuk menggali lebih dalam.
ya … kelihatan banget dari halaman museum ada tungku dan kayu bakar punya pembuat tahu…
sayang waktu sudah sore ya…dan harus pulang
belom pada puaskan bund??yukk liburan kesini lagi deh.. :p
itu kita bertiga habis masak pake panci gede.. liat aja muka berminyak tiga2nya.. 😛
habis buat minyak kelapa untuk dendeng batokok
lewat museum, membuat kita bisa mengira2 spt apa kejadian lalu. baik kejadian yang mengerikan, atau kejadian yg menyenangkan. dan mestinya museum semacam ini perlu dikelola baik agar bisa dinikmati oleh pengunjungnya. dus, datang ke museum bukan hanya menghilangkan penat, tapi juga menambah pengalaman baru tentang masa lampau…
seperti cerita bu monda ini, dengan melihat koleksi museum bisa memberi gambaran kira2 apa yg terjadi pada masa lalu yg berkaitan dengan nisan2 tanpa nama dan peralatan masak yang raksasa.
syukurlah pemerintah kota Sawahlunto sangat antusias mengelola asetnya…..,
masa lalu .. akan selalu jadi bagian dari masa depan bukan?
selayaknyalah kita perhatikan dan jaga
sepertinya keseriusan pemkot sawahlunto menjadikan kota ini daerah wisata tambang,bisa dibilang sukses ya bund..
jempol deh fit …
hanya kurang banyak rumah makan sepertinya..he..he…
Bagaimana mungkin bangsa asing yang dulu sangat kejam sekarang berlagak mengajari Indonesia tentang HAM ?
Semoga arwah mereka diterima di sisiNYA.Amin
Salam hangat dari Surabaya
aamiin…, meskipun mereka orang rantai … belum tentu bersalah kan…, karena peradilan masa itu belum tentu adil..
atau bila bersalah pun, mereka layak dapat penghormatan sebaik-baiknya,
terima kasih pak de
semoga pemilik nisan tanpa nama itu mendapat tempat yang tenang disisi-NYA ya tante
aamiin…
Kira2 apa yang dulu dimasak untuk para pekerja itu…? Layakkah untuk mencukupi kebutuhan mereka…?
Museum memang salah satu alternatif untuk wisata. Murah meriah tapi ilmu kita dapat.
di museum itu ada juga contoh makanannya, dari daftar menu kelihatannya cukup layak kok
Sedih juga ya Mba Monda memikirkan kalau kita akhirnya terlupakan, tak terkenang sama sekali.
Makasih Mba Monda sudah berbagi lagi… 🙂
bau anyirnya susah hilang ya bun?
semoga bisa jalan2 ke sana ya…
Sawahlunto ya mba.. ok, noted!
moga2 kesampean…
ah, rupanya ini yang tercecer dari tour d’ranah minang kemarin itu ya BunMon… 🙂
selalu menarik dan menambah wawasan tiap kali membaca tulisan2 BunMon …
terimakasih ya BunMon ,sudah ‘mengajak’ku lan jalan ke Sawahlunto lewat tulisan ini ………… 🙂
semoga arwah nisan yang tak bernama itu tenang disisiNYA, aamiin
salam
cecerannya masih banyak mam …
he..he…, masih ada beberapa lagi …
museumnya bagus ..
Kisah sawah lunto dan beratnya penderitaan pekerja di sana, sampai ada cerita dalam ludruk Jawa Timur. Yang terngiang di pikiran saya adalah manusia rantai, betapa penjajah dulu nggak memanusiakan manusia.
Semoga pengorbanan yang terkubur dengan cara terdholimi itu, mendapatkan banyak kenikmatan di alam kubur
kalau dijadikan cerita ludruk …, apa mungkin ada orang Jawa Timur yg pernah mengalami masa2 pahit di sana ya pak ?
Duh…Orin yg baca aja sedih Bun, palagi BunMon yg menyaksikan sendiri para nisan tanpa nama itu 🙁
kok begitu ya.. cuma di kasih nomor doang… luar biasa.. bacanya ya saja tidak tega… mendingan tidak sudah di nomorin sekalian ya… ini memang penghinaan sebenarnya…
Ya ampuun ,menyedihkan banget ya, BuMon 🙁
Tak dikenal, tak ada yang mendoakan. Semoga arwah mereka semua sudah tenang sekarang.
Itu panci buat ngumpet bisa ya 😀
he..he.. iya pancinya bisa untuk ngumpet bertiga
Ruang Etnografi? Hmmmm…
Di baqi’ nisannya juga tak bernama ya Bun. Tapi mereka tetap mulia.
Semoga yang di cerita ini juga muliaaaa…
aamiin…,
kalau di Baqi biar tak bernisan tapi setidaknya ahli warisnya tahu anggota keluarga sudah wafat dan dimakamkan di sana
sy juga kayaknya bakalan ada rasa merinding ya mbak ngeliat yang seperti itu.. apalagi yg batu nisannya.. Semoga arwah mereka di terima di sisiNya. Aamiin..
nisannya kok dikumpulkan jadi satu mbak. trs dimana makamnya.
nisan tua juga termasuk benda bersejarah…, direken sebagai prasasti ….
kl yg udah tersebar di penduduk yg perlu diselamatkan
..
soal toilet/rest room gimana Bu..?
buat saya penting juga ituh..hehe..
..
kata anakku toiletnya bagus, bersih ….
nggak seperti tempat wisata lain di sana
Kasihan ya keluarga mereka Bu Mon, gak ada yang tahu kabar dari orang rantai ini
Semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya..Aamiin
Semoga meski nisannya tanpa nama pun, mereka berada di tempat terbaik di alam sana
aamiin
Kenangan duka yang terpateri ya mbak. Trim tuk sharing Museum Gudang Ransum, dokumentasi tak terbantahkan dari penyediaan makanan pekerja tambang. Pancinya alamak besarnya. salam
Waaahh… klo nisannya udah diambil gmn nasib tulang belulangnya bun?
mungkin masih terkubur tanpa tanda apa2 lagi ya
Beribu syukur terucap, karena masa penjajahan itu telah terhenti dan semoga memang benar2 telah berhenti.
Sediih banget saat membayangkan masa2 kerja paksa dulu itu… 🙁
betul Kin kl dibayangkan harus gali lubang tambanf yang dalam hanya dengan peralatan dan keamanan kerja minimal sungguh bikin miris ya
iya ya Mbak…
kasihan sekali, dimakamkan tanpa tanda pengenal….
[…] Berbekalkan kecintaan bidang kepurbakalaan, rumitnya angka dan rumus, komitmen mempersembahkan postingan kecintaan alam yang menjadi bagian […]