Pecenongan adalah nama daerah di Jakarta Pusat, letaknya bersebrangan dengan Istana Kepresidenan, Masjid Istiqlal dan Katedral, hanya dipisahkan oleh Kali Ciliwung. Di daerah ini, tepatnya di jalan yang kini bernama Pintu Air V pernah ada sebuah taman bacaan milik keluarga Fadli. Keluarga ini pada abad 19 membuka taman bacaan dan menyewakan naskah yang disalin sendiri. Naskah itu adalah karya mereka sendiri ataupun karya orang lain. Kini salinan naskah itu disimpan di Perpustakaan Nasional. Dari jumlah 32 naskah Melayu, 25 buah di antaranya adalah salinan karya Muhammad Bakir bin Sapian bin Usman bin Fadli. Anggota keluarga Fadli lainnya yang menjadi penulis naskah adalah ayah (Sapian), paman (Sapirin / Guru Cit) dan 2 sepupu (Ahmad Mujarrab dan Ahmad Beramka) dari Muhammad Bakir. Karya mereka ini tersimpan di Leiden, Belanda dan St Petersburg, Rusia.
Nama Muhammad Bakir baru muncul 30 tahun lalu dalam hasil penelitian para pakar sastra lama, lalu di sekitarnya terungkap sebuah benua sastra baru: tiga atau malah lima pengarang yang tidak dikenal sebelumnya, puluhan karya yang mewakili berbagai genre sastra, dan sebuah taman bacaan di Pecenongan (Katalog Naskah Pecenongan)

(katalog pameran yang sangat rinci, setebal 173 halaman)
Pameran Naskah Pecenongan berlangsung tanggal 11 s/d 20 Juli 2013 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tujuan menyelenggarakan pameran ini adalah untuk mengenalkan kepada masyarakat aneka naskah yang khas dan bernilai tinggi. Maka dibuatlah rencana pameran sekaligus penerbitan katalog yang dirancang serius. Ke depannya lembaga ini merencanakan setiap tahun akan membuat pameran koleksi naskah lainnya.
Naskah Pecenongan ini ditulis dalam huruf Arab Melayu (semasa kecil aku dan teman-teman di tempat belajar mengaji menyebut huruf ini huruf Arab Gundul) yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan bunyi ucapan Melayu. Isi naskah-naskah ini berupa hikayat, atau cerita petualangan, wayang, panji, cerita Islam dan syair simbolik. Jaman itu hikayat tidak dibaca perorangan tetapi dibacakan oleh seorang juru hikayat untuk para pendengar (pada saat kunjungan kami ke pameran itu juga ada acara pembacaan hikayat). Naskah-naskah ini juga ada yang dilengkapi dengan ilustrasi karya sendiri atau mengambil ilustrasi dari tempat lain dan ditempelkan.
Keluarga Fadli ini menyalin naskah atas inisiatif sendiri bukan dipesan oleh kolektor Eropa seperti Abdullah bin Abdulkadir Munsyi salah satu penyalin terkenal. Oleh karenanya Bakir sekeluarga menyewakan naskah ini untuk membeli kertas dan tinta sendiri. Di halaman terakhir naskah biasanya ada pesan agar penyewa tak lupa membayar sewanya seperti terdapat di Hikayat Begerma Cendra.
Hikayat Bergema Cendra
Hikayat Bergema Cendra bercerita tentang petualangan dalam bentuk prosa, tahun 1888. Teks ditulis di atas kertas Eropa memakai tinta hitam dan merah.

Pihak penyelenggara pameran juga menyediakan salinan naskah yang bisa dibaca oleh pengunjung. Sungguh sangat terkesan dengan pameran ini, karena Perpustakaan Nasional telah berhasil merawat naskah tua, menyelenggarakan pameran yang menarik, detail dan lengkap dengan berbagai acara pendukung. Para pengunjung juga mendapat souvenir sangat menarik, buku-buku terbitan Perpustakaan Nasional tema khusus yang tak banyak beredar di luaran. 6 buku … membuatku terus tersenyum , ah serasa dapat harta karun.
Dkt ex kntor ku itu Mba Mon.. Kpn2 main ah ksana hehehe
hafal banget dong daerah sini Ye…., termasuk hafal tempat2 wiskulnya..
Waahh aku ngga tau ada pameran ini. Pernahbke TIM waktu itu. Pinginnya masuk planetarium tp kesorean. Malah jadinya nonton di XXI. Hahahaha
aku juga belum pernah ke planetarium..
pengen ke situ tapi anak2 nggak mau karena udah pas study tour
pameran ini di sebelahnya XXI
Terbayang senyum lebar penerima harta karun Pecenongan ini…. Budaya tulis dan pembacaan hikayat yang memikat. Selamat berlibur bersama keluarga ya mBak. Salam
oh iya mbak… terkagum2 sama naskah kuno yang tulisannya masih terbaca jelas dan dapat buku gratis pulak
Ngebayangin kertas Eropa itu kayak apa teksturnya, kak 😀
Keren ya..bisa menjaga pustaka lama yang usianya udah tua banget gitu, semoga tetap lestari…
kertas Eropa itu kalau dilihat2 kayak kertas buku tulis folio…, bahkan ada yang kayak lembaran buku neraca, ada garis2 debet kreditnya
bu monda, itu di sederetan xxi tim, ada toko buku yg sederhana, tapi koleksinya mantap. mungkin ‘harta karun’ yg bu monda bilang jg bisa didapat disini. harganya jg masuk akal. yg punya toko bukunya sastrawan jose rizal manua (kalau ga salah). saya sih pas kesana ga beli buku, tapi numpang baca.. hehe
sering ke TIM ya…?
kalau toko bukunya punya Jose Rizal Manua pastilah buku2 yg ada di situ karya sastra semua ya.., trims infonya
aku belum pernah mampir ke sana…,
Kenapa harus pakai kertas eropa ya mb, apa kertas indonesia saat itu belum ada yg bermutu?
kertas Eropa…, mungkin itu yg gampang ditemukan di Batavia saat itu..
jaman itu kurasa belum ada kertas produk dalam negri, mungkin masih harus buat sendiri dari serat2 pohon tertentu, ntarlah cari infonya lebih lanjut, trims idenya uda
jadi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi adalah seorang penyalin ya kak .. beliau adalah seorang penyair juga pemikir hebat..
itu 6 bukunya tolong segera ditamatkan ya.. ;p
ya begitulah menurut katalog…
maksudnya penyalinan naskah karya Abdullah di atas kertas itu dibiayai orang Eropa.., kebanyakan karyanya itu berupa litografi , cetakan di atas batu..
ntar ya info lebih lanjut setelah kelar baca bukunya,…nggak tahu kapan he..he.., ini baca katalog pamerannya aja nggak selesai2..
Wah ..jadi bangga ya perpustakaan masih menyimpen buku2 bersejarah
Jadi inget beberapa naskah yang ada di negeri orang 🙁
iya banyak naskah Indonesia dibeli orang asing akhirnya jadi koleksi museum di sana
tapi, pernah sebagian naskah2 itu datang dan dipamerkan kerja sama dengan PerpusNas dulu, pameran berjudul Surat2 Emas…waktu aku mahasiswa sih…he..he.. udah lama banget ya
sering kesini ya bun, secara dekat kan sama kantornya bunda 🙂
sering ke mana mbak? Pecenongan atau TIM
kl ke TIM jarang banget mbak.., sesekali aja pas pameran atau wiskul..atau nonton film
1888 ?
Wah sudah lama juga ya … ?
Salam saya Kak
udah lama banget oom…:P
gimana cara pembaca hikayat ya? apa kyk membaca dongeng gitu? 😀
caranya kayak bercerita gitu, boleh pakai improvisasi…, jadi suka ada lucu2nya
klo dari istiqlal ini kearah mana ya bu?
pengen singgah, deket klo dari istiqlal..
sekarang sih taman bacaannya udah nggak ada,
kalau mau baca2 ke Perpustakaan Nasional aja yang di Salemba
Oh jadi kali deket istiqlal itu kali ciliwung to *baru tau*
Mbak dapet info acara-acara gitu dari mana sih?
info acara yg ini sih aku lihat kebetulan aja pas lewat TIM,
tapi Una bisa ikutin situsnya aja, sering juga dapat info dari twitter dan fanpage grup FB komunitas seperti Jelajah Budaya, IndoHistoria, atau milis Sahabat Museum
Andaikata deket dapat info seperti ini pasti meluncur deh apalagi souvenirnya buku xixixi.
Bali 1842 kayaknya menarik banget Bun .. kalo dah tamat ceritain ya Bun he he.
Trims.
insya Allah kang diceritain ntar kalau udah selesai baca bukunya
skrg lagi baca yg buku terbawah dulu
bener2 naskah kuno … jadi pingin liat2
monggo ke PerpusNas, naskah udah dibuat mikrofilm juga lho
masih terawat, ya, naskahnya.
Souvenirya juga menarik bgt. Gak tanggung2 pula sp 6
he..he…iya makanya girang banget, mata gratisan
Salut ya mbak sama perpusatakaan Nasional Yang telah bagus merawat naskah tua
iya. karena ternyata susah lho, ada aturan2 khusus supaya naskah bisa awt