Gedung Candra Naya

14
3362

Beberapa tahun lalu (2003) sempat ada pertentangan keberadaan sebuah gedung tua dengan arsitektur khas  Tionghoa di jalan Gajah Mada 118, Jakarta Barat. Bangunan itu adalah Gedung Candra Naya.

Pemilik terakhir lahan dan bangunan Gedung Candra Naya ini bermaksud memindahkan rumah tua bersejarah ke Taman Mini Indonesia Indah lalu membangun gedung yang sama sekali baru.  Sedangkan para pencinta sejarah ingin gedung tetap di lokasi asli. Akhirnya tercapai kesepakatan gedung tua tetap dipertahankan, walau sebagian sudah diratakan, dan bangunan baru dibuat mengelilinginya. Jadi akan ada rumah di kolong pencakar langit.

Cerita tentang gedung ini membuat penasaran. Setiap kali lewat di jalan Gajah Mada kepalaku menoleh mencoba melihat kemajuan pembangunan. Lokasi proyek masih tertutup pagar seng, sementara pembangunan gedung modern terus berlanjut. Akhirnya setelah beberapa saat selesai dibangun, barulah dapat kesempatan mendatanginya awal tahun ini. Saat itu tak ada acara apapun di sana, sehingga rumah tua ini terasa kosong melompong. Hanya terlihat orang-orang yang sedang menikmati makan siang di kafe di sisi kiri bangunan.

Dari jalan raya Gajah Mada yang padat  Gedung Candranaya agak sulit dilihat. Bahkan dari atas jembatan penyebrangan di depannya tak tampak sama sekali sosoknya. Barulah ketika masuk ke ruang terbuka antara Hotel Novotel dan minimarket dapat melihat wujud bangunan. Sepintas bentuk rumahnya sangat sederhana. Gedung itu hanya sebuah bangunan kecil dengan atap merah melengkung bergaya Tionghoa. Struktur atap melengkungyang kedua ujungnya terbelah dua, disebut  dengan nama Ekor Walet. Struktur melengkung ini, menandakan status sosial penghuninya.

Gedung Candranaya

Tampak depan ada sebuah pintu besar dengan dua buah jendela di sebelah kanan dan kiri. Di kiri pintu ada pigura kaca berisikan sejarah bangunan, sedangkan pada pigura di sisi kanan menceritakan riwayat singkat seorang ternama penghuni rumah ini Khouw Kim An.

Khouw Kim An  ini adalah salah seorang dari 5 orang mayor Tionghoa di Batavia. Khouw Kim An adalah mayor terakhir (majoor de Chineezen) di Batavia (1910-1918) dan diangkat kembali  pada 1927-1942. Tugas mayor ini adalah untuk mengepalai masyarakat Tionghoa Batavia. Karena ini rumah bekas seorang yang tercatat dalam sejarah dan keunikan bangunan membuatnya sebagai Benda Cagar Budaya. Rumah tokoh mayor Tionghoa lainnya, Tio Tek Ho (1896-1908), ada di Pasar Baru, yaitu Toko Kompak yang bisa dilihat jika Cuci Mata ke Pasar Baru.

Di jalan Gajah Mada pernah ada 2 bangunan lain serupa Gedung Candra Naya yaitu gedung SMA Negeri 2 Jakarta kini, dan bekas gedung Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok yang sudah musnah. Tak diketahui pasti tahun pembangunan Gedung Candra Naya, diperkirakan awal abad 19. Yang membangun ketiga gedung itu adalah seorang tuan tanah kaya yang memberikan 3 gedung itu untuk anak-anaknya.

Dahulu di bagian depan rumah ini ada taman luas yang kini sudah hilang. Memasuki bagian dalam rumah berlantai marmer ini terasa aura kemewahan, apalagi dilengkapi pintu, jendela, partisi yang terbuat dari kayu hitam dengan ornamen keemasan. Di dinding rumah tergangung lukisan dan kaligrafi khas Tiongkok. Di bagian belakang ada teras dan kolam teratai. Kolam ini kini hanya berupa kolam kecil dengan pancuran berbentuk katak.

Di kiri kanan gedung utama ini ada bangunan sayap untuk ruang pelayan, dapur, tempat para selir dan anak-anak. Seharusnya masih ada bangunan dua lantai di bagian belakang yang kini sudah tak ada lagi. Fungsinya sebagai ruang kamar-kamar tidur terletak berjejer di kedua lantai.

Setelah kemerdekaan rumah ini disewa oleh Perhimpunan Sosial Sin Ming Hui (Perkumpulan Sinar Baru) yang bertujuan membantu korban Kerusuhan Tangerang. Perkumpulan ini kemudian berganti nama menjadi Tjandra Naja. Hingga akhir 1992, gedung Candra Naya dipakai juga sebagai poliklinik, kantor yayasan, tempat berlatih olahraga, dan sekolah. Pada tahun 1992 inilah properti dijual kepada perusahaan besar. Pembangunan ke bentuk seperti sekarang ini mulai 2012.

 

14 COMMENTS

  1. Syukur ya mbak, perundingan menetapkan BCB Chandra Naya tetap ada. Kisah sejarah terpateri di setiap ornamen gedung. Aura kemewahan terpancar dari paduan merah keemasannya. Terima kasih mbak Monda pecinta museum berbagi sejarah bangsa. Salam

  2. Senengnya lihat peninggalan sejarah berupa cagar budaya ini, mbak Monda.
    Di daerah Jakarta Barat ya? Gedung Candra Naya? J. Gajah Mada?
    Saya jadi ingat rumah-nya Tjong A Fie yang ada di daerah Kesawan – Medan. Rumah Tionghoa lama, keindahannya memang beda dan, sssttt…saya suka 😉

    • rumah Tjong A Fie belum pernah mbak,
      keliatannya sih lebis besar itu ya
      waktu ke Medan dulu, rumah TAF inj beljm dibuka buat umum kayaknya

  3. Agak miris ya ceritanya Mbak, kok ya bisa sampai ada pertentangan seperti itu… mungkinkah saat 1998 itu, bangunan ini belum ditetapkan sebagai cagar budaya? Saya juga agak bingung tentang riwayat bangunan yang bisa jatuh ke tangan swasta, seolah belum ada kepedulian dari negara kala itu… *bingung*.
    Semoga bangunan ini bisa tetap lestari. Padahal adanya bangunan bersejarah ini bisa menjual banget, kalau menurut saya. Saya pernah tandang ke Tjong A Fie Mansion di Medan dan itu memang megah dan bercerita sekali :hehe.

  4. *SAVE CANDRANAYA*

    Perkara yang digelar di pengadilan Jakarta Barat, hari Kamis 30 Juli 2015, mengadili Ketua Yayasan Candra Naya; Sdr. I Wayan Suparmin SH,. yang diadukan dan dijebloskan tahanan oleh seorang Konglomerat dengan tuduhan “penggelapan” Sertifikat tanah a/n. Yayasan Sin Ming Hui – Candra Naya (SMH-CN), atas tanah seluas 3,2 Ha, yang mencakup lahan RS. Sumber Waras – Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat.
    Sayangnya kasus kontroversial yang sarat dengan kesewenang-wenangan ini tidak diminati oleh media, entah karena beritanya kurang seksi atau karena keberpihakan kepada yang kaya (maju tak gentar membela yang bayar) ……

    Bencana yang melanda Perhimpunan Sosial Sin Ming Hui – Candra Naya (SMH-CN) pada intinya adalah masalah kerakusan Konglomerat Hitam yang dengan segala macam cara ingin menguasai harta kekayaan Yayasan SMH-CN; lembaga sosial yang bergerak dibidang pendidikan, olah raga dan kesehatan, telah berjasa terhapap ribuan warga kurang mampu sejak tahun 1946.

    Disini jelas-jelas terjadi faktor dan unsur :
    ¤ Kerakusan konglo-hitam yang bertindak sebagai binatang ekonomi.
    ¤ Ketidak adilan QQ “justicia for sale”
    ¤ Upaya penjarahan kekayaan Yayasan.
    ¤ Yayasan SMH/CN yang selama 69 thn menolong warga miskin dibidang pendidikan, olah raga dan kesehatan, akan di-nihil-kan dengan nilai komersial untuk keuntungan pribadi.
    ¤ Tidak adanya kepedulian dari para konglomerat lain dan warga etnis Tionghoa umumnya; enggan turun tangan membantu/melindungi aset Yayasan atau enggan membuka mulut (speakout) melakukan aksi protes untuk menghentikan upaya penjarahan ini.
    ¤ Tindakan penjarahan oleh Konglomerat Hitam ini sudah demikian brutalnya, jauh melebihi aksi nasionalisasi pemerintah Orde Baru atas tanah-gedung milik lembaga/warga etnis Tionghoa, pada waktu paska G30S-PKI.

    Mohon kepada Anda yang memiliki kepedulian dan menentang ketidak adilan, penjarahan dan aksi brutal konglomerat hitam untuk untuk ikut menyuarakan dan menyebar luaskan berita *SAVE CANDRANAYA*, agar masyarakat luas tahu apa yang sedang terjadi dengan Yayasan Candra Naya.

    Terima kasih.
    Jakarta, 01 Agustus 2015.
    BROERY SETYAJI.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.